Perekonomian Indonesia Pada Masa Orde Lama
(1945-1966)
Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Berkuasa dari tahun 1945
sampai tahun 1966. pada saat orde lama, pemerintahan indonesia dibagi menjadi
3, sehingga kebijakan ekonomi yang diambil pun berbeda-beda. Diantaranya :
1. Pasca Kemerdekaan
Perekonomian indonesia sangat kacau mulai dari inflasi yang tidak
terkendali ditambah kas negara yang kosong karena tidak adanya pajak dan bea
masuk menjadi salah satu penyebabnya. Faktor- faktor penyebab
kacaunya perekonomian Indonesia 1945-1950 adalah sebagai berikut :
- Terjadi Inflasi yang sangat tinggi
- Adanya Blokade ekonomi dari Belanda
- Kekosongan kas Negara
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :
1. Program Pinjaman Nasional
dilaksanakan oleh menteri keuangan IR. Surachman pada bulan Juli
1946. Salah satunya ke provinsi terkaya saat itu yaitu aceh
2. Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras
ke India (India merupakan Negara yang mengalami nasib yang sama dengan
Indonesia yaitu sama-sama pernah dijajah, Indonesia menawarkan bantuan berupa
padi sebanyak 500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-obatan kepada
Indonesia),mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus
blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
3. Konferensi Ekonomi Februari 1946
dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi
masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi
makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
4. Pembentukan Planning Board (Badan
Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
5. Kasimo Plan yang intinya mengenai
usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis.
Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti
Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
2. Masa
Liberal
Permasalah
ekonomi yang dihadai oleh bangsa Indonesia masih sama seperti sebelumnya.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1. Program Benteng
(Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong
importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan
membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada
importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi
agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun
usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan
tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan suatu
perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP)
2. Nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. (Kabinet Sukiman)
3. Sistem ekonomi
Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo,
yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi.
Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha
pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta
nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi
kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah. (Kabinet ini sangat melindungi importer pribumi, sangat
berkeinginan mengubah perekonomian dari struktur colonial menjadi nasional)
4. Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni
Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih
perusahaan-perusahaan tersebut.(Kabinet Burhanuddin)
5. Gunting
Syarifuddin
Kebijakan gunting syarifuddin adalah pemotongan nilai uang.
Tindakan keuangan ini dilakukan pada tanggal 20 maret 1950 dengan cara memotong
semua uang memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 keatas hingga nilainya
tinggal setengahnya. Kebijakan keuangan ini dilakukan pada masa pemerintahan
RIS oleh menteri keuangan pada waktu itu Syarifuddin Prawiranegara.
6. Rencana
Pembangunan Lima tahun (RPLT)
Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah membentuk
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Ir.
Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Pada bulan Mei 1956, Biro
ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya
akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961. Rencana Undang-Undang tentang rencana
Pembangunan ini disetujui oleh DPR pada tanggal 11 November 1958. Pembiayaab
RPLT ini diperkirakan mencapai Rp. 12,5 miliar.
3. Masa Demokrasi Terpimpin
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959,
maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi
Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh
pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama
dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1.
Devaluasi yang diumumkan pada 25
Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500
menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan
di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2.
Pembentukan Deklarasi Ekonomi
(Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.
Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
3.
Devaluasi yang dilakukan pada 13
Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang
rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka
tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi.
Perekonomian Indonesia Pada Masa
Orde Baru (1966
– 1998)
Struktur perekonomian Indonesia pada
tahun 1950-1965 dalam keadaan kritis. Pada masa Demokrasi Terpimpin, negara
bersama aparat ekonominya mendominasi seluruh kegiatan ekonomi sehingga
mematikan potensi dan kreasi unit-unit ekonomi swasta. Sehingga, pada permulaan
Orde Baru program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi
nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan
keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan
harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 %
setahun. Secara garis
besar, upaya pemulihan struktur perekonomian dan pembangunan pada masa orde
baru, pemerintah menempuh cara sebagai berikut :
1) Stabilisasi
dan Rehabilitasi Ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan
rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi.
Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang
menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila.
2) Kerja
Sama Luar Negeri
3) Pembangunan
Nasional
Tujuan
Pembangunan nasional adalah menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaannya pembangunan nasional dilakukan secara bertahap yaitu :
·
Jangka panjang mencakup periode
25 sampai 30 tahun
·
Jangka pendek mencakup periode 5
tahun (Pelita/Pembangunan Lima Tahun), merupakan jabaran lebih rinci dari
pembangunan jangka panjang sehingga tiap pelita akan selalu saling
berkaitan/berkesinambungan.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang
dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan
Delapan jalur Pemerataan.
Isi Trilogi Pembangunan adalah : Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
• Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
• Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
• Stabilitas nasional yang sehat dan
dinamis.
Selama masa Orde Baru terdapat 6 Pelita, yaitu :
1) Pelita I (1 April 1969 hingga 31 Maret
1974)
· Menitik
beratkan pada sektor pertanian dan industri yang mendukung sektor pertanian.
· Tujuannya
adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan
dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya dengan sasaran dalam bidang
Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan
kerja, dan kesejahteraan rohani.
2)
Pelita II (1 April 1974 hingga 31 Maret 1979.)
· Menitik
beratkan pada sektor pertanian dengan meningkatkan insdutri yang mengolah bahan
mentah menjadi bahan baku.
· Sasaran
utamanya adalah tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja.
· Pertumbuhan
ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun. Pada awal pemerintahan Orde Baru laju
inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju inflasi turun menjadi 47%.
Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi 9,5%.
3)
Pelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984.)
· Menitikberatkan
pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang
mengolah bahan baku menjadi barang jadi.
4) Pelita
IV (1 April 1984 hingga 31 Maret 1989.)
· Titik
beratnya adalah sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
· Terjadi
resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga
kelangsungan pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
5) Pelita V (1 April 1989 hingga 31 Maret
1994.)
· Titik
beratnya pada sektor pertanian dan industri.
· Indonesia
memiki kondisi ekonomi yang cukup baik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8
% per tahun.
6). Pelita
VI (1 April 1994 hingga 31 Maret 1999.)
· Titik
beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan
industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia sebagai pendukungnya.
· Sektor
ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pembangunan nasional
Indonesia dari pelita ke pelita berikutnya terus mengalami peningkatan
keberhasilan pembangunan.
· Pada
periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara
termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri
yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Perekonomian
Indonesia Pada Masa Reformasi (1988-Sekarang)
1. Presiden B.J Habibie
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar
baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para
investor asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para investor asing
tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak
untuk jangka pendek. Pemerintan Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu
mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai
terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merebet ke Indonesia
dan beberapa negara Asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar pada
bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai rupiah
dalam dolar mulai tertekan terus dan pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah
mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup
Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998, antara bulan Januaru-Februari sempat
menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp
10.550 untuk satu dolar AS. Yang dilakukan Habibie untuk perekonomian Indonesia:
·
Merekapitulasi perbankan dan
menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih mengurusi perekonimian.
·
Melikuidasi beberapa bank
bermasalah
·
Menaikkan nilai tukar rupiah
·
Mengimplementasikan reformasi
ekonomi yang diisyaratkan IMF
2. Presiden
Abdurrahman Wahid
Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di
antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat suku
bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai
stabil.
Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan
IMF juga kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23
tahun 1999 mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah
untuk pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
Politik dan sosial yang tidak
stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi enggan untuk
menanamkan modal di Indonesia.
Makin rumitnya persoalan
ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang
cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan lebih banyaknya
kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam
negeri.
Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.
3. Presiden Megawati Soekarnoputri
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain:
1. Meminta
penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
2. Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode
krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan
ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke
perusahaan asing.
3. Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan
korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di
Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
4. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara Indonesia atau
menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung tunai
kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut di berhentikan sampai pada
tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan
dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi
pada pemerintahan SBY dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus
bank century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai
mengeluarkan biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus bank century ini.
Kondisi perekonomian pada masa
pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global
yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.Bank Indonesia (BI) memperkirakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan
meningkat menjadi 6 - 6,5 persen pada 2011. Dengan demikian, prospek ekonomi
Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.
Sementara itu, pemulihan ekonomi global
berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia.
Kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang pada triwulan IV - 2009 mencatat
pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen dan masih berlanjut
pada Januari 2010. Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia
adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang
tinggi dan pengurangan utang negara. Masalah-masalah besar lain pun masih tetap
ada. Pertama, pertumbuhan makro ekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh
lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas
ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki
pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di
bawah garis kemiskinan.